spyderment

efek salju

kembang api


tulisan berjalan

KRUUUEEE SEUUUUMANGAT TAMENG JAK PIYOHH

Kamis, 24 Mei 2012

LEGENDA GAJAH PUTEH

M. Junus Djamil dalam bukunya yang berjudul “Gadjah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun1959 di Kutaradja, antara lain telah menulis tentang “Riwajat asal usul wudjudnya Gadjah Putih di Keradjaan Atjeh” yang berhubungan dengan berdirinya Kerajaan Linge di daerah Gayo.tulisan tersebut bersumber dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu raja dari Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di daerah Gayo Laut pada masa kolonial Belanda dahulu.

Menurut Junus Djamil di sekitar tahun 1025 di daerah Gayo telah berdiri Kerajaan Linge pertama yang dipimpin oleh seorang raja yang namanya “Kik Betul” atau“Kawee Teupat”. Menurut sebutan orang Aceh, pada masa berkuasanya Sultan Machuclum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak sekitar tahun 1012-1058.

Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana. Dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi Raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai.Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge.Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya MeurahMege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

Baru 500 tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1511, diketahui seorang raja keturunan Raja Linge yang dikenal sebagai Raja Linge ke XIII. Raja Linge ke XIII terkenal, karena selain kedudukannya di Tanah Gayo, juga mempunyai kedudukan penting di pusat Kerajaan Aceh dan di dalam Pemerintah Kerajaan Johor di semenanjung Tanah Melayu.

Ketika Portugis menyerang dan merebut Kerajaan Malaka tahun 1511, Sultan Mahmud Syah dari Malaka terpaksa mengundurkan diri ke Kampar di daerah Sumatera, sedang keluarganya diungsikan ke Aceh Darussalam. Dalam keadaan yang sulit ini Kerajaan Aceh telah ikut membantu Raja Malaka tersebut. Hubungan kerja sama ini telah berkembang demikian rupa hingga terjadi pula suatu perkawinan yang dapat dikatakan sebagai perkawinan politik antara Kraton Aceh dengan Kraton Malaka. Seorang putra Sultan Malaka bernama Sultan Alaudin Mansyur Syah dinikahkan dengan seorang putri Kerajaan Aceh. Sebaliknya seorang putri Sultan Malaka dikawinkan pula dengan seorang pembesar Kerajaan Aceh yaitu Raja Linge ke XIII.

Raja Linge ke XIII juga duduk dalam staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh (Amirul Harb), sejak Sultan Aceh berjuang mengusir Portugis dari daerah Pase dan Aru.Karena kedudukannya yang penting dalam Kerajaan Aceh, maka kedudukannya sebagai Raja Linge diserahkan kepada anaknya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di
tanah Gayo.

Dalam tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru yang dipimpin oleh Sultan Alaudin Mansyur Syah. Raja Linge XIII duduk dalam Kabinet Kerajaan Johor ini sebagai wakil dari Kerajaan Aceh. Dan dalam rangka membangun dan mengembangkan Kerajaan Johor baru, di samping menghadapi kaum penjajah Portugis, Sultan Johor telah menugaskan kepada Raja Linge XIII untuk membangun sebuah pulau di Selat Malaka yang termasuk wilayah Kerajaan Johor. Pulau tersebut kemudian terkenal dengan “Pulau Lingga”. Selama Raja Linge XIII membangun Pulau Lingga ini dia memperoleh dua orang anak lelaki, seorang di antaranya bernama “Bener Merie” dan seorang lagi adiknya bernama “Sengeda”. Di Pulau Lingga inilah kemudian Raja Linge XIII meninggal dunia.

Setelah meninggalnya Raja Linge XIII, istrinya yang berasal dari Kraton Malaka itu, pindah ke Aceh Darussalam dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil, yakni Bener Merie dan Sengeda. Ketika kedua-duanya menginjak dewasa, barulah ibunya memberi tahukan asal keturunan ayahnya di Linge Tanah Gayo. Abangnya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di negeri Linge menggantikan ayahnya.

Demikianlah Bener Merie dan Sengeda kemudian berangkat ke Tanah Gayo untuk menemui abang dari ayahnya yaitu Raja Linge XIV.Tetapi malang nasib mereka, karena kedatangannya tidak diterima dengan baik oleh Raja Linge XIV,malahan mereka dituduh telah membunuh ayahnya Raja Linge XIII. Kedua -duanya dijatuhi hukuman mati. Bener Merie atas perintah Raja Linge XIV dibunuh, sedang pembunuhan Sengeda ditugaskan kepada Raja Cik Serule. Tetapi Raja Cik Serule tidak mau melaksanakan tugasnya, Sengeda disembunyikannya sehingga terlepas dari pembunuhan. Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan Aceh Alaidin Ria’yah II sedang berkuasa di Aceh tahun 1539-1571.

Dalam suatu upacara di Kraton Aceh, yang dihadiri oleh seluruh raja-raja Aceh, Sultan memerintahkan kepada mereka untuk mencari “gajah putih” yang dikabarkan terdapat di hutan-hutan Tanah Gayo,untuk dipersembahkan kepadanya. Sultan akan memberikan hadiah kepada siapa yang menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut kepadanya.

Walaupun dengan rasa kecewa Raja Linge XIV menyiapkan perutusan ke Darussalam untuk mempersembahkan gajah putih tersebut kepada Sultan. Dia tidak mengetahui bahwa yang menangkap gajah putih tersebut adalah Sengeda yang telah diperintahkannya untuk dibunuh.

Pada upacara penyerahan gajah putih keadaan Sultan di Kraton Aceh, gajah putih yang semula direncanakan diserahkan oleh Raja Linge XIV kepada Sultan ternyata gagal, karena gajah putih tersebut mengamuk, tidak mau dituntunnya. Sifatnya yang biasanya jinak telah berubah menjadi berang dan ganas, mengejar-ngejar Raja Linge XIV yang hampir-hampir tewas.

Akhirnya Sengeda yang dapat menjinakkan gajah putih tersebut, dan menyerahkannya kepada Sultan dengan tenang. Semua yang hadir menjadi tercengang-cengang, Sultan menanyakan peristiwa yang aneh itu. Sengeda terpaksa membongkar rahasia kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie.

Mendengar keterangan Sengeda ini, Sultan sangat murka, dan segera memerintahkan menangkap Raja Linge XIV. Kemudian dimajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati. Tetapi beruntung, bagi Raja Linge XIV, dia tidak jadi dihukum mati, karena ibu Sengeda dan Sengeda sendiri memberi maaf kepadanya di muka pengadilan, sehingga Sultan membatalkan hukuman mati tersebut. Hukumannya diperingan sekedar diturunkan
pangkatnya dan membayar diet atau semacam denda.

Segera setelah peristiwa gajah putih ini, Sultan mengangkat Sengeda menjadi Raja Linge ke XV menggantikan Raja Linge XIV yang khianat itu. Kisah atau legenda lain mengenai peristiwa “gajah putih”dan kisah “Sengeda” adalah berdasar versi yang ditulis oleh seorang penyair Gayo yaitu Ibrahim Daudi atau yang lebih terkenal Mude Kala dalam bentuk syair bahasa Gayo. Jalan ceritanya hamper sama, tetapi isinya jauh berbeda.

Perbedaan terpenting antaranya adalah menurut tulisan M. Junus Djamil kisah “gajah putih” dan Sengeda tersebut berhubungan dengan pengangkatan Sengeda menjadi Raja Linge XV, sedangkan dalam kisah dalam bentuk syair Gayo versi Mude Kala, kisah atau legenda gajah putih dan kisah Sengeda tersebut berhubungan dengan pembentukan “Kejurun Bukit” di Gayo Laut.

Menurut versi Mude Kala, karena jasanya menemukan gajah putih dan membongkar rahasia pembunuhan terhadap Bener Merie,maka Sengeda diangkat menjadi Raja Bukit pertama di Gayo Laut.Sengeda dianggap sebagai keturunan raja-raja Bukit selanjutnya.

SULTAN ATJHEH

 SULTAN ATJHEH

[sunting]

Di bawah ini merupakan daftar sultan-sultan Aceh dari Dinasti Makota Alam.
Sultan Aceh dari Dinasti Makota Alam
#NamaMasa pemerintahanKeterangan
1Sultan Ali Mughayat Syah1496-1528 / 7 Agustus 1530[1]Pendiri kerajaan, putera dari Syamsu Syah
2Sultan Salahuddin ibn Ali Malik az Zahir1528 / 1530[1]-1537 / 1539[1]putra dari No. 1. Wafat tanggal 25 November 1548.[1]
3Sultan Alauddin ibn Ali Malik az Zahir
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar
1537-1568 / 28 September1571[1]putra dari No. 1 dan adik dari No. 2.
4Sultan Ali ibn Alauddin Malik az Zahir
Sultan Husain Ali Riayat Syah
1568 / 1571[1]-1575 / 8 Juni1579[1]putra dari No. 3.
5Sultan Muda1575 / 1579[1]putra dari No. 4. Baru berumur beberapa bulan pada saat dijadikan sultan.
6Sultan Sri Alam
Sultan Firman Syah ibn Alauddin
1575-1576 / berkuasa hanya pada 1579[1]putra dari No. 3. Juga merupakan Raja Pariaman
7Sultan Zainal Abidin ibn Abdullah1576-1577 / berkuasa hanya pada 1579[1]cucu dari No. 3. Putra Sultan Abdullah Raja Aru

[sunting]Sultan Aceh keturunan Perak

Sultan Aceh yang berasal keturunan Perak
#NamaMasa pemerintahanKeterangan
8Sultan Alauddin Mansur Syah ibn Ahmad1577 / 1579[1]-1589 / dibunuh sekitar 1586[1]Putra Sultan Ahmad, Sultan Perak 1549-1577.
Menantu dari No. 4.

[sunting]Sultan Aceh keturunan Inderapura

Sultan Aceh yang berasal keturunan Inderapura
#NamaMasa pemerintahanKeterangan
9Sultan Ali ibn Munawar Syah
Sultan Buyung
1589 / 1586[1]-1596 / 28 Juni1589[1]anak seorang raja Indrapura.[1] (Sultan Munawar Syah)

[sunting]Dinasti Darul-Kamal

Sultan Aceh dari Dinasti Darul-Kamal
#NamaMasa pemerintahanKeterangan
10Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil1596 / 1589[1]-1604cucu dari saudara ayahnya No. 1. putra dari Firman Syah, keturunan Inayat Syah, raja Darul-Kamal.[1]
11Sultan Ali Riayat Syah1604-1607putra dari No. 10.[1]

[sunting]Peleburan dari kedua dinasti tersebut

Sultan Aceh peleburan dari Dinasti Makota Alam dan Dinasti Darul-Kamal
#NamaMasa pemerintahanKeterangan
12Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam1607-27 Desember 1636cucu (melalui ibu) dari No. 10 dan cicit dari No. 3 melalui ayah.[1]

[sunting]Sultan Aceh keturunan Pahang

Sultan Aceh yang berasal keturunan Pahang
#NamaMasa pemerintahanKeterangan
13Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah1636-15 Februari 1641putra Sultan PahangAhmad Syah IIMenantu dari No. 12 dansuami dari No. 14.

[sunting]Sultanah Aceh

Sultanah Aceh
#NamaMasa pemerintahanKeterangan
14Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam1641-1675Putri dari No. 12 dan istri dari No. 13
15Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam1675-1678
16Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah1678-1688
17Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah1688-1699Saudari angkat dari No. 16, istri dari No. 18,
serta ibu dari No. 19 dan No. 20

[sunting]Sultan-sultan Aceh Dinasti Syarif

Sultan Aceh dari Dinasti Syarif (Maulana)
#NamaMasa pemerintahanKeterangan
18Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin1699-1702Suami dari No. 17, serta ayah dari No. 19 dan No. 20
19Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui1702-1703
20Sultan Jamalul Alam Badrul Munir1703-1726
21Sultan Jauharul Alam Aminuddin1726
22Sultan Syamsul Alam1726-1727

[sunting]Sultan Aceh keturunan Bugis

Keturunan sultan-sultan terakhir Aceh yang masih memiliki garis keturunan Bugis2]
Sultan Aceh keturunan Bugis
#NamaMasa pemerintahanKeterangan
23Sultan Alauddin Ahmad Syah1727-1735
24Sultan Alauddin Johan Syah1735-1760putra dari No. 23
25Sultan Mahmud Syah1760-1764putra dari No. 24, ditumbangkan oleh
26Sultan Badruddin Johan Syah1764-1765dipulihkan dan dikembalikan kepada
25Sultan Mahmud Syah1765-1773
27Sultan Sulaiman Syah1773dipulihkan dan dikembalikan lagi kepada
25Sultan Mahmud Syah1773-1781
28Alauddin Muhammad Syah1781-1795putra dari No. 25
29Sultan Alauddin Jauhar al-Alam1795-1823putra dari No. 28. Wali dari No. 27 sampai tahun 1802. Digugat oleh
30Sultan Syarif Saif al-Alam1815-1820
29Sultan Alauddin Jauhar al-Alam1795-1823Dikembalikan posisinya dengan bantuan RafflesInggris.[3]
31Sultan Muhammad Syah1823-1838putra dari No. 29.
32Sultan Sulaiman Syah1838-1857putra dari No. 31. Wali dari No. 33 sampai 1850, digugat oleh No. 33 pada 1870
33Sultan Mansur Syah1857-1870putra dari No. 29.
34Sultan Mahmud Syah1870-1874putra dari No. 32.
35Sultan Muhammad Daud Syah1874-1903cucu dari No. 33. Wali dari Tuanku Hasyim sampai 1884. Ditangkap oleh Belanda dan turun takhta pada 1903.