spyderment

efek salju

kembang api


tulisan berjalan

KRUUUEEE SEUUUUMANGAT TAMENG JAK PIYOHH

Sabtu, 12 Mei 2012

[===C=] e [=C===]Keureutoe dalam Fragmen Sejarah Keureutoe dalam Fragmen Sejarah

[===C=] e
Oleh Iskandar Norman - Ketika Belanda menyerang Aceh. Ratusan tentara Belanda harus merenggang nyawa di Keureutoe. Seperti menimpa segerombolan pasukan Belanda di Desa Meurandeh Paya, Lhoksukon, Aceh Utara. Enambelas tentara Belanda tewas dicincang.Â

Kala itu terkenal seorang Panglima perang di Wilayah Keureuto, Tgk Syik Di Tunong. Daerah kekuasannya meliput daerah pegunungan bagiantunong (selatan), karena itulah ia dikenal sebagai Tgk Syik Di Tunong, yakni Tgk Syik di Selatan. Di sana ia berjuang bersama istrinya, Cut Mutia, yang setelah Indonesia merdeka digelar sebagai pahlawan nasional. 
Perjuangan Cut Meutia dan Tgk Syik Di Tunong di daerah Keureutoe itu kelak juga dikenal dalam fragmentaria sejarah Aceh sebagai perang yang sangat mengesankan. Mereka bersama pasukannya bisa menyerang Belanda secepat kilat, untuk kemudian kembali menghilang. Zentgraaff, mantan serdadu dan seorang penulis Belanda dalam bukunya “Atjeh” mengakui hal itu. Dalam perang gerilya keduanya sangat lihai membaca keadaan.Â

Pada Juni 1902, Tgk Syik Di Tunong menyergap sebuah datasemen pasukan infantri Belanda pimpinan Van Steijn Parve yang berkekuatan 30 orang serdadu. Delapan serdadu Belanda tewas dalam perang cepat itu. Dua bulan kemudian, pada Agustus 1902, ia juga menyerang sebuah konvoi angkutan Belanda dari Simpang Ulim yang dikawal tentara Belanda dengan 20 bayonet. Â

Ketika konvoi Belanda itu sampai di kawasan Meunasah Jeuro, secara tiba-tiba mereka diserang oleh Tgk Syik Di Tunong dan pasukannya dengan kelewang. Mereka meloncat dari sisi kiri dan kanan jalan, mengayunkan pedang ke leher tentara Belanda dan menebasnya. Belanda yang tak menduga ada serangan sedekat dan secepat itu lari kocar-kacir. Komandan pasukan Belanda itu bersama tujuh serdadunya tewas, tiga tentara Belanda lainnya melarikan diri ke dalam hutan. Hanya seorang serdadu Eropa bernama Fortier yang ditinggalkan hidup dengan luka parah di datasemen itu. Â

Membiarkan seorang musuh tertinggal dalam keadaan kritis merupakan politik perang pasukan Aceh zaman itu. Mereka menginginkan korban yang selamat itu hidup dalam keadaan trauma, untuk meruntuhkan mental pasukan Belanda lainnya. Atau setidaknya, mereka ingin korban itu menceritakan pada pasukan Belanda lainnya tentang bagaimana cepatnya penyerangan itu terjadi. Hingga kemudian tanpa sadar mereka membesar-besarkan kemampuan tempur jarak dekat pejuang Aceh. Tak sedikit dari mereka kemudian gila karena ditinggalkan hidup diantara puluhan rekannya yang tewas di tebas dengan sabetan how bovenop.Â

Apa yang direncanakan Tgk Syik Di Tunong itu benar-benar terjadi. Selang beberapa jam kemudian, 40 tentara Belanda di bawah pimpinan Van Geel Gildmeester datang. Ia dan 40 pasukannya harus menyaksikan mayat-mayat serdadu dengan leher hampir putus. Fortier yang kritis diselamatkan. Ia harus menjalani penyembuhan berbulan-bulan untuk lukanya. Dan puluhan tahun untuk traumanya. Bahkan bisa jadi ia tak pernah bisa sembuh dari trauma besar itu.

Fortier yang diinterogasi oleh komandannya tentang peristiwa penyerangan itu, sampai ia benar-benar sembuh dari lukanya, tak mampu bercerita. Ia menjerit setiap ditanyakan tentang peristiwa itu. Moral pasukan Belanda benar-benar runtuh, sementara Tgk Syik Di Tunong terus menyiapkan rencana penyerangan selanjutnya.Â

Tgk Syik Di Tunong menjadi orang yang paling diburu oleh Belanda, tapi dalam pemburuannya itu, Belanda malah yang kerap menjadi sasaran penyerangan. Seperti pada November 1903, pasukan  Belanda pimpinan Letnan Kok melakukan patroli dengan kekuatan 45 bayonet ke daerah Sampoi Niet. Untuk menuju ke sana mereka harus menyebrang sungai.Â

Pasukan Tgk Syik Di Tunong telah menunggu di tepi sungai itu, mereka tampak seperti warga biasa yang sedang menambatkan perahunya. Tanpa curiga Letnan Kok bersama pasukannya menggunakan jasa penyebrangan dengan sampan itu. Ketika sampai di tengah sungai, dari seberang terdengar suara tembakan. Warga yang mendayung perahu itu meloncat ke air dan menyelam. Dari bawah mereka mencabut tambal perahu yang sudah dibocori. Mereka terus menyelam sampai ke tepi sungai dan bersembunyi di balik rumpun bambu.Â

Ternyata tembakan tadi adalah isyarat agar pasukan Tgk Syik Di Tunong yang mendayung perahu itu meloncat dan mencabut tambal perahu. Letnan Kok dan pasukannya tenggelam dalam derasnya air sungai. Dari atas tebing, pasukan Tgk Syik Di Tunong menembak mereka. Letnan Kok dan pasukannya mati tenggelam.Â

Setelah kejadian itu, Belanda semakin gencar melakukan serangan terhadap kelompok Tgk Syik Di Tunong. Namun baginya, prang ngôn taki, khanduri ngôn doa, perang itu dengan takti, kenduri dengan doa. Setelah berhasil menciptakan klimaks perang dengan Belanda di Keuretoe dan sekitarnya, pada 5 Oktober 1903, Tgk Syik Di Tunong menyerahkan diri kepada Belanda di Lhokseumawe.Â

Pawai besar di lakukan Belanda untuk menyambut Tgk Syik Tunong turun gunung bersama pasukannya. Masyarakat berdiri di sisi kiri dan kanan jalan, melambai ke arah Tgk Syik Di Tunong. Mereka berdamai dengan Belanda dengan menyarahkan senjata bawaannya. Setelah penyambutan yang meriah itu, Tgk Syik Di Tunong diizinkan untuk kembali tinggal di Keureuto.Â

Namun, peristiwa penyerahan diri itu hanya politik tipu semata. Ia jadi lebih leluasa bolak balik Lhokseumawe – Keureuto untuk mengumpul logistik dan persenjataan, setelah senjata-senjatanya yang mulai rusak diserahkan kepada Belanda pada penyerahan dirinya. Sementara senjata rampasan dari pasukan Belanda yang ditewaskannya tetap disimpan bersama sisa-sisa pasukannya di gunung. Begitulah kemudian Tgk Syik Di Tunong mampu mensuplay logistik dan persenjatan yang banyak untuk pasukannya.Â

Pasa 26 Januari 1905, sebuah patroli Belanda di bawah pimpinan Sersan Vollaers dengan kekuatan 17 bayonet melakukan patroli rutin. Karena kelelahan, mereka istirahat di sebuah bivak di Desa Meurandeh Paya, sebelah timur Lhoksukon. Di seberang jalan seorang lelaki memikul keranjang buah, dua lain membawa keranjang ayam dan rempah-rempah. Sersan Vollaers memanggil mereka untuk membeli buah itu. Begitu juga dengan pedagang ayam dan rempah-rempah.Â

Tiga pria paruh baya itu masuk dengan leluasa dalam bivak menjajakan dagangannya. Salah satu dari mereka kemudian mengetip jarinya. Serentak ketiganya menarik pedang dan rencong yang terselip di bawah kerancang itu. Pasukan Belanda yang sedang istirahat itu ditikam dan dicincang. Vollaers menjadi orang pertama yang mati ditebas dengan kecepatan gaya how bovenop.Â

Seperti biasa, hanya satu orang yang disisakan hidup di bivak itu dengan luka parah, 16 fusiler inlander lainya mati seketika. Fusiler inlader yang selamat itu dibiarkan melarikan diri untuk melaporkan peristiwa itu kepada Swart, komandan militer Belanda di Lhokseumawe. Dengan tergesa-gesa Swart dan pasukannya menuju Meurandeh Paya. Di sana ia menemukan 16 mayat tentara Belanda yang tercincang secara mengerikan.Â

Swart kemudian memerintahkan bawahannya untuk melakukan penyelidikan siapa aktor di balik penyerangan tersebut. Dari beberapa kali pemeriksaan, Belanda menyimpulkan bahwa Tgk Syik Di Tunong sebagai otak di balik penyerangan tersebut. Namun, untuk terus mengelabui Belanda ia tetap berpenampilan seperti biasa, seolah-olah tidak tahu menahu dengan insiden itu. Swart dengan bantuan Letnan Ban Vuuren terus mengamati gerak-gerik Tgk Syik Di Tunong. Pada 5 Maret 1905, Tgk Syik Di Tunong datang ke Lhokseumawe untuk suatu keperluan. Para serdadu Belanda yang bersembunyi di balik bivak bersembunyi untuk menangkapnya.Â

Saat ia melewati bivak itu, Van Vuuren menghadang Tgk Syik Di Tunong dan meminta untuk menanggalkan rencong dan kelewangnya. Sebagai seorang panglima Tgk Syik Tunong sangat paham tentang hal itu. Ia ditangkap bukan di medang perang, tapi di bivak tentara Belanda dan dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Â

Tapi, singa Aceh itu tetap dihargai oleh musuh-musuhnya. Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh, Van Daalen menghargainya sebagai panglima pejuang Aceh yang lihai dan gagah berani, karena itu patut di hormati. Van Daalen memberi kematian yang terhormat bagi Tgk Syik Di Tunong merubah vonis dari hukuman gantung menjadi hukuman tembak mati.Â

Pada hari-hari sebelum menjalani hukuman matinya, Tgk Chik Di Tunong masih diperkenalkan menerima kunjungan istri dan anaknya. Ia meminta kepada Cut Mutia, istrinya agar mendidik anaknya menjadi seorang panglima yang akan meneruskan perjuangannya. Pesan lainnya, ia meminta Cut Mutia untuk menikah dengan Pang Nanggroe, kawan seperjuangannya. Cut Mutia pun bersumpah pada suaminya itu akan melaksanakan dua wasiat tersebut.Â

Setelah menerima kunjuangan Cut Mutia, esoknya di pagi yang masih buta, Tgk Syik Tunong digiring menuju pantai dekat Lhokseumawe. Sebuah regu militer ditempatkan untuk mengeksekusinya. Ia menolak ditutup mata saat dieksekusi. Dengan tegap ia berdiri menatap regu militer  yang akan menembaknya itu. Tak ada air mata yang mengalir, selain darah yang muncrat dari lubang-lubang ditembusi peluru di sekujur tubuhnya. Dia tewas sebagai seorang jantan.Â

Gejolak Berlanjut

Kini tinggallah Cut Mutia yang sedang hamil tua. Seorang perempuan muda yang menepis duka, yang akan merawat anak yang akan dilahirkannya sebagaimana pesan almarhum suaminya. Ia akan menjadi penerus tradisi panglima dengan how bovenop-nya.Â

Berdasarkan hukum adat, anak yang dikandung Cut Mutia berhak menduduki jabatan Uleebalang Keureutoe, pengganti Tgk Chik Di Tunong, ayahnya. Tapi tak lama setelah dilahirkan, anak itu meninggal. Setelah 44 hari kematian bayinya itu, Cut Mutia melaksanakan wasiat kedua suaminya. Melalui utusannya ia memberitahukan kepada Pang Nanggroe sudah siap untuk diperistrikan.Â

Keputusan Cut Mutia itu mengundang sejumlah tanya bagi para Uleebalang, karena beberapa Uleebalang selaku pemimpin rakyat di daerah itu ingin menikahinya, tapi ditolak. Ia lebih memilih menikah dengan Pang Nanggroe, pria biasa yang hanya seorang tuha peut, tokoh masyarakat desa di Gampong Matang Teungoh, bukan penguasa negeri.Â

Cut Mutia mengangap para Uleebalang itu sebagai lelaki lemah yang hanya bisa duduk di istananya memimpin rakyat dari dalam rumah. Beda dengan Pang Nanggroe, lelaki biasa yang malang melintang bergerilya melawan Belanda. Lebih dari itu, Pang Nanggroe memiliki keliahain how bovenop yang sama cekatannya dengan Tgk Syik Di Tunong. Di mata Cut Mutia, Pang Nanggroe mampu membuktikan dirinya sebagai pejuang pemberani yang penuh semangat, yang mampu menggantikan peran Tgk Syik Di Tunong, baik sebagai panglima maupun sebagai suami baginya.Â

Mendapat kabar dari Cut Mutia, Pang Nanggroe yang didampingi Pang Lateh bersama pasukannya turun gunung untuk meminang Cut Mutia yang telah menunggu bersama Teuku Raja Sabi, anaknya. Cut Mutia didudukkan di sebuah tandu, sementara Teuku Raja Sabi yang dikenal sebagai Putra Raja Wali dijaga oleh puluhan pasukan Pang Nanggroe. Mereka adalah para jantan yang bertugas memberikan pengawalan terhadap sang anak di mana pun ia berada.Â

Setelah pernikahan itu, bulan madu bagi Cut Mutia bukanlah di kasur empuk, tapi mengayun pedang memerangi Belanda di setiap jengkal tanah Keuretoe. Duet Pang Nanggroe dan Cut Mutia benar-benar membuat semangat juang rakyat Keureutoe berkobar. Mereka ingin terus menjaga kekuasaan Keureutoe karena Teuku Raja Sabi anak Cut Mutia sebagai pewaris keulebalangan Keureutoe harus dijaga. Ia adalah tokoh kunci yang mampu membuat semangat perang itu terus berkobar.Â

Meski masih kecil dan berada dalam asuhan ayah tirinya di hutan, setiap mendengar Teuku Raja Sabi masih hidup, perlawanan rakyat Keureutoe terhadap Belanda terus membara. Mengetahui hal itu, Belanda terus mencarinya. Tapi tak mudah untuk menemukan Teuku Raja Sabi yang diawasi oleh Pang Nanggroe, ayah tirinya.Â

Perlawanan rakyat Keureutoe bertambah kuat ketika pasukan Pang Naggroe bergabung dengan pasukan pimpinan Teuku Ben Pira, saudara Cut Mutia. Sejak September 1905, mereka melakukan serangan bersama terhadap Belanda. Kemenangan demi kemenangan pun dicapai, Belanda makin prustasi melihat mayat-mayat tentaranya tergeletak dengan luka tebasan how bovenop.Â

Dua tahun kemudian, setelah ratusan kali pertemburan diikutinya, Teuku Ben Pira gugur dalam sebuah pertempuran. Sejak saat itu, pasukan Teuku Ben Pira sepenuhnya berada di bawah pimpinan Pang Nanggroe, ahli taktik perang gerilya yang sangat ditakuti Belanda, malah melebihi takutnya Belanda kepada Tgk Syik Di Tunong sebelumnya.Â

Pang Nanggroe merupakan panglima perang yang memiliki mobilitas tinggi, sehingga susah dilacak keberadaannya oleh Belanda. Dia bersama pasukannya merupakan petempur yang tak terduga, yang bisa melakukan serangan dadakan kapan saja dan di mana saja. Seperti pada 6 Mei 1907, ia bersama 20 pasukannya menyerang sebuah bivak tentara Belanda. Dua tentara Belanda tewas, empat luka-luka dalam serangan kilat itu. Ia juga berhasil merampas 10 pucuk senapan beserta 750 butir peluru, serta sebuah senapang berburu dan sebuah karanem winchester di bivak itu.Â

Sebulan kemudian, pada 15 Juni 1907, Pang Nanggroe kembali menyerang bivak militer Belanda di Keude Bawang, Idi, Aceh Timur.  Ia merampas persenjataan militer Belanda dan meninggalkan pedang-pedang tua di sana. “Ini merupakan bukti betapa cepatnya Pang Nanggroe dan pasukannya bergerak. Ia merampas senapan dari pihak kita, dan meninggalkan pedang-pedang tua, setumpuk besi tua yang bisa kita dapatkan di setiap keude (pasar),” kelak Zentgraaff mencatat pengakuan Belanda itu dalam buku sejarahnya.Â

Berbekal senjata rampasan, kemenangan demi kemenangan diraih Pang Nanggroe bersama pasukannya. Nama Pang Nanggroe dielu-elukan tidak hanya di Keureutoe, tapi juga ke luar daerah tersebut. Setiap mendengar keberhasilan Pang Nanggroe, pemuda-pemuda desa meninggalkan kampungnya, menaiki gunung bergabung dengan pasukan Pang Nanggroe. Mereka membiarkan sawah-sawahnya terlantar, bergabung dengan Pang Nanggroe untuk kemudian melakukan serangan-serangan berbahaya ke Lhosukon, Pase dan daerah-daerah lain di luar Keureutoe.Â

Kemenangan demi kemenangan diraih Pang Naggroe bersama pasukannya. Belanda sangat terpukul, hasil jerih payahnya puluhan tahun bertempur di Keureutoe musnah. Dan bagi Cut Mutia, ia terus tersenyum melihat seluruh rakyat Keureutoe bergolak melawan Belanda. Ketakutan Belanda terhadap gaya perang jarak dekat yang frontal dan tak terduga dari pasukan Pang Nanggroe semakin bertambah. Mereka harus terus melihat tebasan-tebasan pedang dan kelewang dengan gaya how bovenop pasukan Aceh merobek bahu hingga rongga dada parafusiler inlander Belanda. Dan tetap saja ada satu tentara Belanda yang dibiarkan hidup menderita dan trauma di setiap serangan agar menceritakan kepada komandannya tentang kegilaan perang itu.[]

 



Advertisement


Tidak ada komentar:

Posting Komentar